KANG MAS DYAN'S BLOG: WISATA SEJARAH DI YOGYAKARTA

Blogroll

WISATA SEJARAH DI YOGYAKARTA


BAB I
PENDAHULUAN

1.1)      LATAR BELAKANG
Pariwisata sebagai salah satu industri gaya baru (new style industry) secara efektif terbukti mampu menyediakan pertumbuhan ekonomi yang cepat, terbukanya lapangan kerja, peningkatan taraf hidup dan mengaktifkan sektor industri lain di dalam negara penerima wisatawan. Sebagai sebuah industri gaya baru sektor ini mencoba meninggalkan paradigma lama tentang industri yang hanya menekankan pada suatu proses-output dengan maksud untuk mendapatkan profit keuntungan semata. Landasan operasionalisasi sektor industri ini di dasarkan pada ilmu-ilmu baru, tehnologi canggih dan cara berfikir serta dimensi dan persepsi yang bervariasi pula. Begitu kompleksnya aspek-aspek yang terkait dengan pariwisata ini, baik menyangkut aspek organisasi, pemasaran, perencanaan dan tehnik-tehnik pariwisata. Sehingga dalam sektor industri ini meniscayakan suatu latar belakang kemampuan intelektual yang luas dan pendidikan khusus agar para profesional dan praktisi yang bergerak di sektor ini mampu menyesuaikan diri dengan perubahan ilmu, tehnologi dan paradigma baru dalam industri pariwisata.

Terkait dengan diskursus desentralisasi (otonomi daerah), pariwisata semakin menjadi primadona. Daya tariknya yang luar biasa dalam menggerakkan roda perekonomian menjadikan masing-masing daerah berupaya menggali sebesar-besarnya potensi wisata daerahnya masing-masing. Hal ini tidak menjadi hal yang aneh, daerah mana yang tidak iri dengan Bali, sebuah propinsi yang potensi sumber daya alamnya hanya dapat menghasilkan output yang sedikit, namun tingkat kesejahteraan ekonominya sangat tinngi karena dipacu oleh income yang didapatkan dari sector pariwisata.

Fenomena dalam dunia pariwisata memang menunjukkan suatu prospek yang menguntungkan dari sisi bisnis. Kondisi pasar dalam industri ini menunjukkan suatu “sustainable profit values” - sejumlah nilai keuntungan yang berkelanjutan. Oleh karena itu dalam upaya untuk meningkatkan nilai pendapatan dari pariwisata ini, maka layak sebenarnya dilakukan analisis menyeluruh terhadap kondisi pasar pariwisata, baik menyangkut mekanisme penawaran (supply), permintaan (demand), pelaku-pelaku pasar (actors) dan kondisi lingkungan disekitarnya.

Mengkaji permasalahan penawaran dalam pasar pariwisata, ditandai oleh tiga ciri khas utama. Pertama, merupakan penawaran jasa-jasa, dengan demikian apa yang ditawarkan itu tidak mungkin ditimbun dalam waktu lama dan harus ditawarkan dimana produk itu berada. Oleh karena itu mustahil untuk mengangkutnya, dan inilah yang membuat perbedaan dengan produk-produk lainnya yang ditawarkan, dalam arti bahwa konsumen harus mendatangi apa yang dirtawarkan itu untuk diteliti. Kedua produk yang ditawarkan dalam industri pariwisata ini sifatnya kaku (rigid) dalam arti bahwa dalam usaha pengadaan untuk pariwisata, sulit sekali untuk mengubah sasaran penggunaan untuk di luar pariwisata. Ketiga, berlakunya hukum substitusi. Karena pariwisata belum menjadi kebutuhan pokok manusia, maka penawaran pariwisata harus bersaing ketat dengan penawaran barang-barang dan jasa yang lain.

BAB II
PEMBAHASAN

2.1)      JOGJA / YOGYAKARTA – SURGA WISATAWAN DI PULAU JAWA

YOGYAKARTA (sering juga disebut Jogja, Yogya, atau Jogya) terletak di tengah Pulau Jawa - Indonesia, tempat segalanya masih murah. Cukup dengan 200rb sehari, Anda sudah bisa menginap, menyantap masakan tradisional yang terkenal, dan menyewa motor untuk menjelajahi pantai-pantai yang masih perawan dan candi-candi kuno berusia ribuan tahun.

Seribu tahun silam, Yogyakarta merupakan pusat kerajaan Mataram Kuno yang makmur dan memiliki peradaban tinggi. Kerajaan inilah yang mendirikan Candi Borobudur yang merupakan candi Buddha terbesar di dunia, 300 tahun sebelum Angkor Wat di Kamboja. Peninggalan lainnya adalah Candi Prambanan, Istana Ratu Boko, dan puluhan candi lainnya yang sudah direstorasi maupun yang masih terpendam di bawah tanah.
Namun oleh suatu sebab yang misterius, Kerajaan Mataram Kuno memindahkan pusat pemerintahannya ke Jawa Timur pada abad ke-10. Candi-candi megah itu pun terbengkalai dan sebagian tertimbun material letusan Gunung Merapi. Perlahan-lahan, wilayah Yogyakarta pun kembali menjadi hutan yang lebat.

Enam ratus tahun kemudian, Panembahan Senopati mendirikan Kerajaan Mataram Islam di wilayah ini. Sekali lagi Yogyakarta menjadi saksi sejarah kerajaan besar yang menguasai Pulau Jawa dan sekitarnya. Kerajaan Mataram Islam ini meninggalkan jejak berupa reruntuhan benteng dan makam kerajaan di Kotagede yang kini dikenal sebagai pusat kerajinan perak di Yogyakarta.

Perjanjian Giyanti pada tahun 1755 membagi Kerajaan Mataram Islam menjadi Kasunan Surakarta yang berpusat di Kota Solo dan Kesultanan Yogyakarta yang mendirikan istananya di Kota Jogja. Kraton (istana) tersebut masih berdiri hingga kini dan masih berfungsi sebagai tempat tinggal sultan dan keluarganya, lengkap dengan ratusan abdi dalem yang secara sukarela menjalankan tradisi di tengah perubahan jaman. Di Kraton, setiap hari ada pagelaran budaya berupa pertunjukan wayang kulit, gamelan, sendratari Jawa, dsb.

Yogyakarta pada masa kini merupakan tempat tradisi dan dinamika modern berjalan berdampingan. Di Yogyakarta ada kraton dengan ratusan abdi dalem yang setia menjalankan tradisi, namun juga ada Universitas Gadjah Mada yang merupakan salah satu universitas terkemuka di Asia Tenggara. Di Yogyakarta sebagian masyarakat hidup dalam budaya agraris yang kental, namun juga ada kaum mahasiswa dengan gaya hidup pop. Di Yogyakarta ada pasar tradisional dan barang kerajinan sementara di sebelahnya berdiri mall yang tak kalah ramainya.

Di ujung utara Yogyakarta, Anda akan melihat Gunung Merapi berdiri dengan gagah setinggi 9738 kaki. Gunung ini adalah salah satu dari gunung berapi yang paling aktif di Indonesia. Jejak ganasnya letusan Gunung Merapi tahun 2006 lalu bisa disaksikan di Desa Kaliadem, 30 km dari Kota Jogja. Pemandangan bergaya Mooi Indië berupa hamparan sawah nan hijau dan Gunung Merapi sebagai latar belakang masih bisa dilihat di pinggiran Kota Jogja.

Di bagian selatan Yogyakarta, Anda akan menemukan banyak pantai. Pantai yang paling terkenal adalah Pantai Parangtritis dengan legenda Nyi Roro Kidul, namun Yogyakarta juga memiliki pantai-pantai alami yang indah di Gunung Kidul. Anda bisa melihat Pantai Sadeng yang merupakan muara Sungai Bengawan Solo purba sebelum kekuatan tektonik yang dahsyat mengangkat permukaan Pulau Jawa bagian selatan sehingga aliran sungai tersebut berbalik ke utara seperti saat ini. Anda juga bisa mengunjungi Pantai Siung yang memiliki 250 jalur panjat tebing, Pantai Sundak, dan lain-lain.

Malaysia memiliki menara kembar tertinggi di dunia, Yogyakarta memiliki Candi Prambanan yang menjulang setinggi 47 meter dan dibuat dengan tangan 1100 tahun sebelumnya. Singapura memiliki kehidupan modern, Yogyakarta memiliki masyarakat agraris yang tradisional. Thailand dan Bali memiliki pantai-pantai yang indah, Yogyakarta memiliki pantai-pantai alami dan Gunung Merapi yang menyimpan cerita tentang betapa dahsyatnya kekuatan alam.

Kombinasi yang unik antara candi-candi kuno, sejarah, tradisi, budaya, dan kekuatan alam menjadikan Yogyakarta sangat layak untuk dikunjungi.

2.2)      WISATA-WISATA DI YOGYAKARTA
Ada banyak tempat wisata yang ada di Yogyakarta yang diantaranya ada:
a.    Wisata Candi
b.    Wisata Pantai
c.    Wisata Belanja
d.    Wisata Alam
e.    Taman & Agrowisata
f.     Wisata Ziarah
g.    Olahraga & Petualangan
h.    Wisata Arsitektur
i.     Wisata sejarah
j.     Museum & Monumen
k.    Wisata Kuliner
l.     Kawasan Menarik
m.   Pertunjukan Seni
n.    Kursus Singkat

Dari sekian banyak tempat wisata yang ada di Yogya, tempat yang patut untuk di kunjungi adalah wisata sejarah. Karena wilayah yang sekarang disebut Yogyakarta merupakan saksi bisu pasang surutnya kerajaan-kerajaan yang pernah berjaya di Pulau Jawa. Tak heran bila mudah sekali menemukan reruntuhan bangunan kuno di sini.

Candi-candi peninggalan Kerajaan Mataram Kuno (abad VIII - X) bisa Anda lihat dalam direktori Wisata Candi. Reruntuhan dan peninggalan Kerajaan Mataram Islam (abad XVI - XVII) ada di Kotagede. Sedangkan Kerajaan Yogyakarta yang bertahan hingga pertengahan abad ke-20 mewariskan Kraton / istana yang masih berfungsi hingga kini. Wisata sejarah yang ada di Yogyakarta di antaranya adalah:
1.    KOTA GEDE
Kotagede merupakan saksi bisu dari tumbuhnya Kerajaan Mataram Islam yang pernah menguasai hampir seluruh Pulau Jawa. Makam para pendiri Kerajaan Mataram Islam, reruntuhan tembok benteng, dan peninggalan lain bisa kita temukan di Kotagede.
KOTAGEDE, Saksi Bisu Berdirinya Kerajaan Mataram Islam (Abad ke-16)
Pada abad ke-8, wilayah Mataram (sekarang disebut Jogja / Yogyakarta) merupakan pusat Kerajaan Mataram Hindu yang menguasai seluruh Pulau Jawa. Kerajaan ini memiliki kemakmuran dan peradaban yang luar biasa sehingga mampu membangun candi-candi kuno dengan arsitektur yang megah, seperti Candi Candi Prambanan dan Candi Candi Borobudur. Namun pada abad ke-10, entah kenapa kerajaan tersebut memindahkan pusat pemerintahannya ke wilayah Jawa Timur. Rakyatnya berbondong-bondong meninggalkan Mataram dan lambat laun wilayah ini kembali menjadi hutan lebat.

Enam abad kemudian Pulau Jawa berada di bawah kekuasaan Kesultanan Pajang yang berpusat di Jawa Tengah. Sultan Hadiwijaya yang berkuasa saat itu menghadiahkan Alas Mentaok (alas = hutan) yang luas kepada Ki Gede Pemanahan atas keberhasilannya menaklukkan musuh kerajaan. Ki Gede Pemanahan beserta keluarga dan pengikutnya lalu pindah ke Alas Mentaok, sebuah hutan yang sebenarnya merupakan bekas Kerajaan Mataram Hindu dahulu.

Desa kecil yang didirikan Ki Gede Pemanahan di hutan itu mulai makmur. Setelah Ki Gede Pemanahan wafat, beliau digantikan oleh putranya yang bergelar Senapati Ingalaga. Di bawah kepemimpinan Senapati yang bijaksana desa itu tumbuh menjadi kota yang semakin ramai dan makmur, hingga disebut Kotagede (=kota besar). Senapati lalu membangun benteng dalam (cepuri) yang mengelilingi kraton dan benteng luar (baluwarti) yang mengelilingi wilayah kota seluas ± 200 ha. Sisi luar kedua benteng ini juga dilengkapi dengan parit pertahanan yang lebar seperti sungai.

Sementara itu, di Kesultanan Pajang terjadi perebutan takhta setelah Sultan Hadiwijaya wafat. Putra mahkota yang bernama Pangeran Benawa disingkirkan oleh Arya Pangiri. Pangeran Benawa lalu meminta bantuan Senapati karena pemerintahan Arya Pangiri dinilai tidak adil dan merugikan rakyat Pajang. Perang pun terjadi. Arya Pangiri berhasil ditaklukkan namun nyawanya diampuni oleh Senapati. Pangeran Benawa lalu menawarkan takhta Pajang kepada Senapati namun ditolak dengan halus. Setahun kemudian Pangeran Benawa wafat namun ia sempat berpesan agar Pajang dipimpin oleh Senapati. Sejak itu Senapati menjadi raja pertama Mataram Islam bergelar Panembahan. Beliau tidak mau memakai gelar Sultan untuk menghormati Sultan Hadiwijaya dan Pangeran Benawa. Istana pemerintahannya terletak di Kotagede.

Selanjutnya Panembahan Senapati memperluas wilayah kekuasaan Kerajaan Mataram Islam hingga ke Pati, Madiun, Kediri, dan Pasuruan. Panembahan Senapati wafat pada tahun 1601 dan dimakamkan di Kotagede berdekatan dengan makam ayahnya. Kerajaan Mataram Islam kemudian menguasai hampir seluruh Pulau Jawa (kecuali Banten dan Batavia) dan mencapai puncak kejayaannya di bawah pimpinan raja ke-3, yaitu Sultan Agung (cucu Panembahan Senapati). Pada tahun 1613, Sultan Agung memindahkan pusat kerajaan ke Karta (dekat Plered) dan berakhirlah era Kotagede sebagai pusat kerajaan Mataram Islam.

Peninggalan Sejarah
Dalam perkembangan selanjutnya Kotagede tetap ramai meskipun sudah tidak lagi menjadi ibukota kerajaan. Berbagai peninggalan sejarah seperti makam para pendiri kerajaan, Masjid Kotagede, rumah-rumah tradisional dengan arsitektur Jawa yang khas, toponim perkampungan yang masih menggunakan tata kota jaman dahulu, hingga reruntuhan benteng bisa ditemukan di Kotagede.
·       Pasar Kotagede
     Tata kota kerajaan Jawa biasanya menempatkan kraton, alun-alun dan pasar dalam poros selatan - utara. Kitab Nagarakertagama yang ditulis pada masa Kerajaan Majapahit (abad ke-14) menyebutkan bahwa pola ini sudah digunakan pada masa itu. Pasar tradisional yang sudah ada sejak jaman Panembahan Senopati masih aktif hingga kini. Setiap pagi legi dalam kalender Jawa, penjual, pembeli, dan barang dagangan tumpah ruah di pasar ini. Bangunannya memang sudah direhabilitasi, namun posisinya tidak berubah. Bila ingin berkelana di Kotagede, Anda bisa memulainya dari pasar ini lalu berjalan kaki ke arah selatan menuju makam, reruntuhan benteng dalam, dan beringin kurung.

·       Kompleks Makam Pendiri Kerajaan
     Berjalan 100 meter ke arah selatan dari Pasar Kotagede, kita akan menemukan kompleks makam para pendiri kerajaan Mataram Islam yang dikelilingi tembok yang tinggi dan kokoh. Gapura ke kompleks makam ini memiliki ciri arsitektur Hindu. Setiap gapura memiliki pintu kayu yang tebal dan dihiasi ukiran yang indah. Beberapa abdi dalem berbusana adat Jawa menjaga kompleks ini 24 jam sehari.

     Kita akan melewati 3 gapura sebelum sampai ke gapura terakhir yang menuju bangunan makam. Untuk masuk ke dalam makam, kita harus mengenakan busana adat Jawa (bisa disewa di sana). Pengunjung hanya diperbolehkan masuk ke dalam makam pada Hari Minggu, Senin, Kamis, dan Jumat pukul 08.00 - 16.00. Untuk menjaga kehormatan para pendiri Kerajaan Mataram yang dimakamkan di sini, pengunjung dilarang memotret / membawa kamera dan mengenakan perhiasan emas di dalam bangunan makam. Tokoh-tokoh penting yang dimakamkan di sini meliputi: Sultan Hadiwiijaya, Ki Gede Pemanahan, Panembahan Senopati, dan keluarganya.

·       Masjid Kotagede
     Berkelana ke Kotagede tidak akan lengkap jika tidak berkunjung ke Masjid Kotagede, masjid tertua di Jogja / Yogyakarta yang masih berada di kompleks makam. Setelah itu tak ada salahnya untuk berjalan kaki menyusuri lorong sempit di balik tembok yang mengelilingi kompleks makam untuk melihat arsitekturnya secara utuh dan kehidupan sehari-hari masyarakat Kotagede.

·       Rumah Tradisional
     Persis di seberang jalan dari depan kompleks makam, kita bisa melihat sebuah rumah tradisional Jawa. Namun bila mau berjalan 50 meter ke arah selatan, kita akan melihat sebuah gapura tembok dengan rongga yang rendah dan plakat yang yang bertuliskan "cagar budaya". Masuklah ke dalam, di sana Anda akan melihat rumah-rumah tradisional Kotagede yang masih terawat baik dan benar-benar berfungsi sebagai rumah tinggal.

·       Kedhaton
     Berjalan ke selatan sedikit lagi, Anda akan melihat 3 Pohon Beringin berada tepat di tengah jalan. Di tengahnya ada bangunan kecil yang menyimpan "watu gilang", sebuah batu hitam berbentuk bujur sangkar yang permukaannya terdapat tulisan yang disusun membentuk lingkaran: ITA MOVENTUR MUNDU S - AINSI VA LE MONDE - Z00 GAAT DE WERELD - COSI VAN IL MONDO. Di luar lingkaran itu terdapat tulisan AD ATERN AM MEMORIAM INFELICS - IN FORTUNA CONSOERTES DIGNI VALETE QUIDSTPERIS INSANI VIDETE IGNARI ET RIDETE, CONTEMNITE VOS CONSTEMTU - IGM (In Glorium Maximam). Entah apa maksudnya, barangkali Anda bisa mengartikannya untuk kami?

     Dalam bangunan itu juga terdapat "watu cantheng", tiga bola yang terbuat dari batu berwarna kekuning-kuningan. Masyarakat setempat menduga bahwa "bola" batu itu adalah mainan putra Panembahan Senapati. Namun tidak tertutup kemungkinan bahwa benda itu sebenarnya merupakan peluru meriam kuno.

·       Reruntuhan Benteng
     Panembahan Senopati membangun benteng dalam (cepuri) lengkap dengan parit pertahanan di sekeliling kraton, luasnya kira-kira 400 x 400 meter. Reruntuhan benteng yang asli masih bisa dilihat di pojok barat daya dan tenggara. Temboknya setebal 4 kaki terbuat dari balok batu berukuran besar. Sedangkan sisa parit pertahanan bisa dilihat di sisi timur, selatan, dan barat.

Berjalan-jalan menyusuri Kotagede akan memperkaya wawasan sejarah terkait Kerajaan Mataram Islam yang pernah berjaya di Pulau Jawa. Selain itu, kita juga bisa melihat dari dekat kehidupan masyarakat yang ratusan tahun silam berada di dalam benteng kokoh.
Berbeda dengan kawasan wisata lain, penduduk setempat memiliki keramahan khas Jawa, santun, dan tidak terlalu komersil. Di Kotagede, kita takkan diganggu pedagang asongan yang suka memaksa (hawkers). Ini memang sedikit mengejutkan, atau lebih tepatnya menyenangkan. Siapa juga yang butuh pedagang asongan yang suka memaksa?

2.    TAMAN SARI
Gemericik air, keindahan arsitekturnya yang kuno, dan pemandangan yang menakjubkan membuat Taman Sari sangat mempesona. Lorong-lorong dan bangunannya menjadikan Taman Sari penuh rahasia yang akan terus dikuak.
                   TAMAN SARI

                   Istana Air Penuh Keindahan dan Rahasia

Masa setelah Perjanjian Giyanti, Pangeran Mangkubumi membangun keraton sebagai pusat pemerintahan Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Pangeran Mangkubumi yang kemudian bergelar Sultan Hamengku Buwono I membangun keraton di tengah sumbu imajiner yang membentang di antara Gunung Merapi dan Pantai Parangtritis. Titik yang menjadi acuan pembangunan keraton adalah sebuah umbul (mata air). Untuk menghormati jasa istri-istri Sultan karena telah membantu selama masa peperangan, beliau memerintahkan Demak Tegis seorang arsitek berkebangsaan Portugis dan Bupati Madiun sebagai mandor untuk membangun sebuah istana di umbul yang terletak 500 meter selatan keraton. Istana yang dikelilingi segaran (danau buatan) dengan wewangian dari bunga-bunga yang sengaja ditanam di pulau buatan di sekitarnya itu sekarang dikenal dengan nama Taman Sari.

"Dari atas Gapura Panggung ini Sultan biasa menyaksikan tari-tarian di bawah sana. Bangunan-bangunan di sampingnya merupakan tempat para penabuh dan di tengah-tengah biasa didirikan panggung tempat para penari menunjukkan kepiawaian dan keluwesan mereka," terang seorang pemandu ketika YogYES memasuki Taman Sari. Dari Gapura Panggung, pemandu membawa YogYES masuk ke area yang dulunya hanya diperbolehkan untuk Sultan dan keluarganya, kolam pemandian Taman Sari. Gemericik air langsung menyapa. Airnya yang jernih berpadu apik dengan tembok-tembok krem gagah yang mengitarinya. Kolam pemandian di area ini dibagi menjadi tiga yaitu Umbul Kawitan (kolam untuk putra-putri Raja), Umbul Pamuncar (kolam untuk para selir), dan Umbul Panguras (kolam untuk Raja).

Sebuah periuk tempat istri-istri Sultan bercermin masih utuh berdiri ketika YogYES memasuki menara tempat pribadi Sultan. Ornamen yang menghiasi periuk memberi kesan glamor terhadap benda yang terletak di samping lemari pakaian Sultan tersebut. Bisa dibayangkan, 200 tahun lalu seorang wanita cantik menunggu air di periuk ini hingga tenang lalu dia menundukkan kepalanya, memperbaiki riasan dan sanggulnya, memperindah raganya sembari bercermin. Selain periuk dan kamar pribadi Sultan, di menara yang terdiri dari tiga tingkat ini ada tangga dari kayu jati yang masih utuh terawat sehingga memberi kesan antik bagi siapa pun yang melihatnya. Naik ke tingkat paling atas, pantulan mentari dari kolam di bawahnya dan seluruh area Taman Sari terlihat dengan jelas. Mungkin dahulu Sultan juga menikmati pemandangan dari atas sini, pemandangan Taman Sari yang masih lengkap dengan danau buatannya dan bunga-bunga yang semerbak mewangi.

Selepas menikmati pemandangan dari atas menara, pemandu lalu membawa YogYES menuju Gapura Agung, tempat kedatangan kereta kencana yang biasa dinaiki Sultan dan keluarganya. Gapura yang dominan dengan ornamen bunga dan sayap burung ini menjadi pintu masuk bagi keluarga Sultan yang hendak memasuki Taman Sari. Pesanggrahan tepat di selatan Taman Sari menjadi tujuan berikutnya. Sebelum berperang, Sultan akan bersemedi di tempat ini. Suasana senyap dan hening langsung terasa ketika YogYES masuk. Di sini, Sultan pastilah memikirkan berbagai cara negosiasi dan strategi perang supaya kedaulatan Keraton Yogyakarta tetap terjaga. Areal ini juga menjadi tempat penyimpanan senjata-senjata, baju perang, dan tempat penyucian keris-keris jaman dahulu. Pelatarannya biasa digunakan para prajurit berlatih pedang.

YogYES pun berpisah dengan pemandu di depan Gapura Agung. Namun, ini bukan berarti perjalanan terhenti karena masih ada beberapa tempat yang harus disinggahi seperti Sumur Gumuling dan Gedung Kenongo. Untuk menuju tempat tersebut, Anda harus melewati Tajug, lorong yang menghubungkan Taman Sari dengan keraton dan juga Pulo Kenongo. Lorong bawah tanah yang lebar ini memang untuk berjaga-jaga apabila keraton dalam keadaan genting. Ruang rahasia banyak tersembunyi di tempat ini. Keluar dari Tajug, Anda akan melihat bekas dari Pulo Kenongo yang dulunya banyak ditumbuhi bunga kenanga yang menyedapkan Taman Sari. YogYES pun menuju Sumur Gumuling, masjid bawah tanah tempat peribadatan raja dan keluarga. Bangunan dua tingkat yang didesain memiliki sisi akustik yang baik. Jadi, pada zaman dahulu, ketika imam mempimpin shalat, suara imam dapat terdengar dengan baik ke segala penjuru. Sekarang pun, hal itu masih dapat dirasakan. Suara percakapan dari orang-orang yang ada jauh dari kita terasa seperti mereka sedang berada di samping kita. Selain itu, Untuk menuju ke pusat masjid ini, lagi-lagi harus melewati lorong-lorong yang gelap. Sesampainya di tengah masjid yang berupa tempat berbentuk persegi dengan 5 anak tangga di sekelilingnya, keagungan semakin terasa. Ketika menengadahkan kepala terlihat langit biru. Suara burung yang terdengar dari permukiman penduduk di area Taman Sari semakin menambah tenteram suasana.

Persinggahan terakhir adalah Gedung Kenongo. Gedung yang dulunya digunakan sebagai tempat raja bersantap ini merupakan gedung tertinggi se-Taman Sari. Di tempat ini Anda dapat menikmati golden sunset yang mempesona. Keseluruhan Taman Sari pun bisa dilihat dari sini, seperti Masjid Soko Guru di sebelah timur dan ventilasi-ventilasi dari Tajug. Puas dengan kesegaran air dari Taman Sari, langit akan menyapa. Pemandangan yang indah sekaligus mempesona ditawarkan Taman Sari. Pesona air yang apik berpadu dengan tembok-tembok bergaya campuran Eropa, Hindu, Jawa, dan China menjadi nilai yang membuat Taman Sari tak akan terlupakan.

Jam Buka: Senin - Minggu, pukul 09.00 - 15.30 WIB
Tiket:
·         Wisatawan Domestik: Rp 3.000
·         Wisatawan Mancanegara: Rp 7.000
·         Guide: nego (Rp 10.000 - Rp 20.000)
Keterangan:
harga tiket diperoleh pada perjalanan bulan Januari 2012. Untuk tarif pemandu bervariasi, tergantung kesepakatan bersama.

3.    PANGGUNG KRAPYAK
Panggung Krapyak adalah bangunan yang berusia hampir 250 tahun dikenal sebagai tempat berburu raja-raja Kasultanan Yogyakarta. Berdiri di wilayah yang dulu dikenal dengan Hutan Krapyak, tempat putra Panembahan Senopati wafat.

Panggung Krapyak, Tempat Raja-Raja Berburu

Alkisah wilayah Krapyak, yang kini berada di selatan Kraton Yogyakarta, dahulu merupakan hutan lebat. Beragam jenis hewan liar terdapat di sini, salah satunya rusa atau dalam bahasa Jawa disebutmenjangan. Tak heran bila wilayah ini dulu banyak digunakan sebagai tempat berburu oleh Raja-Raja Mataram.

Raden Mas Jolang yang bergelar Prabu Hanyokrowati, raja kedua Kerajaan Mataram Islam dan putra Panembahan Senopati, adalah salah satu raja yang memanfaatkan Hutan Krapyak sebagai tempat berburu. Pada tahun 1613, beliau mengalami kecelakaan dalam perburuan dan akhirnya meninggal di sini. Beliau dimakamkan di Kotagede dan diberi gelar Panembahan Seda Krapyak (berarti raja yang meninggal di Hutan Krapyak).
Raja lain yang gemar berburu di Hutan Krapyak adalah Pangeran Mangkubumi (Sultan Hamengku Buwono I). Beliau-lah yang mendirikan Panggung Krapyak lebih dari 140 tahun setelah wafatnya Prabu Hanyokrowati di hutan ini. Panggung Krapyak merupakan petunjuk sejarah bahwa wilayah Krapyak pernah dijadikan sebagai area berburu. Bila berminat, anda bisa mendatanginya dengan melaju ke selatan dari Alun-Alun Kidul, melewati Plengkung Gading dan Jalan D.I Panjaitan. Panggung Krapyak akan ditemukan setelah melaju kurang lebih 3 kilometer, berada tepat di tengah jalan.

Bangunan Panggung Krapyak berbentuk persegi empat seluas 17,6 m x 15 m. Dindingnya terbuat dari bata merah yang dilapisi semen cor dan disusun ke atas setinggi 10 m. Bagian dinding kini tampak berwarna hitam, menunjukkan usianya yang hampir menyamai usia Kota Yogyakarta, seperempat milenium. Bangunan tampak masih kokoh, walau beberapa bagian mengalami kerusakan akibat gempa 27 Mei 2006 lalu.

Arsitektur bangunan panggung ini cukup unik. Setiap sisi bangunan memiliki sebuah pintu dan dua buah jendela. Pintu dan jendela itu hanya berupa sebuah lubang, tanpa penutup. Bagian bawah pintu dan jendela berbentuk persegi tetapi bagian atasnya melengkung, seperti rancangan pintu dan jendela di masjid-masijd.

Bangunan panggung terbagi menjadi dua lantai. Lantai pertama memiliki 4 ruang dan lorong pendek yang menghubungkan pintu dari setiap sisi. Kalau matahari bersinar terang, cahayanya akan menembus ke dalam lantai pertama bangunan lewat pintu dan jendela. Adanya sinar matahari membuat nuansa tua yang tercipta dari kondisi bangunan serta udara yang lebih lembab dan dingin akan langsung menyergap.

Jika menuju salah satu ruang di bagian tenggara dan barat daya bangunan dan menatap ke atas, anda bisa melihat sebuah lubang yang cukup lebar. Dari lubang itulah raja-raja yang hendak berburu menuju ke lantai dua (berguna sebagai tempat berburu) dengan dibantu sebuah tangga kayu yang kini sudah tidak dapat dijumpai lagi. Dengan menatap ke atas pula, anda bisa mengetahui bahwa terdapat sebuah atap untuk menaungi lubang yang kini telah ambruk, mungkin berguna untuk mencegah air masuk.

Sekilas, bangunan ini menggambarkan kenyamanan yang diperoleh raja, bahkan saat berburu. Ketinggian bangunan membuat raja berburu dengan rasa nyaman dan aman, leluasa mengintai tanpa perlu khawatir diserang oleh hewan buas ketika berburu. Lantai dua tempat ini pun cukup nyaman, berupa ruangan terbuka yang cukup luas dan dibatasi oleh pagar berlubang dengan ketinggian sedang.

Ketinggian bangunan ini menyebabkan beberapa orang menduga bahwa Panggung Krapyak juga digunakan sebagai pos pertahanan. Konon, dari tempat ini gerakan musuh dari arah selatan bisa dipantau sehingga bisa memberikan peringatan dini kepada Kraton Yogyakarta bila terjadi serangan. Para prajurit secara bergantian ditugaskan untuk berjaga di tempat ini, sekaligus berlatih berburu dan olah kanuragan(kemampuan berperang).

Panggung Krapyak termasuk bangunan yang terletak di poros imajiner kota Yogyakarta, menghubungkan Gunung Merapi, Tugu Jogja, Kraton Yogyakarta, Panggung Krapyak dan Laut Selatan. Poros Panggung Krapyak hingga Kraton menggambarkan perjalanan manusia dari lahir hingga dewasa. Wilayah sekitar panggung melambangkan kehidupan manusia saat masih dalam kandungan, ditandai dengan adanya kampung Mijen di sebelah utara Panggung Krapyak sebagai lambang benih manusia.

Mengunjungi Panggung Krapyak, berarti mengunjungi salah satu bangunan penting bagi Kraton Yogyakarta.

4.    KRATON
Keraton Yogyakarta tidak hanya menjadi tempat tinggal raja, namun juga menjadi penjaga nyala kebudayaan Jawa. Di tempat ini Anda dapat belajar dan melihat secara langsung bagaimana budaya tetap dilestarikan di tengah laju perkembangan dunia.
                   KRATON YOGYAKARTA

                   Museum Hidup Kebudayaan Jawa dan Tempat Tinggal Raja Jogja

Lonceng Kyai Brajanala berdentang beberapa kali, suaranya tidak hanya memenuhi Regol Keben namun terdengar hingga Siti Hinggil dan Bangsal Pagelaran Kraton Yogyakarta. Sedangkan di Sri Manganti terdengar lantunan tembang dalam Bahasa Jawa Kuna yang didendangkan oleh seorang abdi dalem. Sebuah kitab tua, sesaji, lentera, dan gamelan terhampar di depannya. Beberapa wisatawan mancanegara tampak khusyuk mendengarkan tembang macapat, sesekali mereka terlihat menekan tombol shutter untuk mengambil gambar. Meski tidak tahu arti tembang tersebut, saya turut duduk di deretan depan. Suara tembang jawa yang mengalun pelan bercampur dengan wangi bunga dan asap dupa, menciptakan suasana magi yang melenakan. Di sisi kanan nampak 4 orang abdi dalem lain yang bersiap untuk bergantian nembang. Di luar pendopo, burung-burung berkicau dengan riuh sambil terbang dari pucuk pohon sawo kecik yang banyak tumbuh di kompleks Kraton Yogyakarta kemudian hinggap di atas rerumputan.

Kraton Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat atau yang sekarang lebih dikenal dengan nama Kraton Yogyakarta merupakan pusat dari museum hidup kebudayaan Jawa yang ada di Daerah Istimewa Yogyakarta. Tidak hanya menjadi tempat tinggal raja dan keluarganya semata, Kraton juga menjadi kiblat perkembangan budaya Jawa, sekaligus penjaga nyala kebudayaan tersebut. Di tempat ini wisatawan dapat belajar dan melihat secara langsung bagaimana budaya Jawa terus hidup serta dilestarikan. Kraton Yogyakarta dibangun oleh Pangeran Mangkubumi pada tahun 1755, beberapa bulan setelah penandatanganan Perjanjian Giyanti. Dipilihnya Hutan Beringin sebagai tempat berdirinya kraton dikarenakan tanah tersebut diapit dua sungai sehingga dianggap baik dan terlindung dari kemungkinan banjir. Meski sudah berusia ratusan tahun dan sempat rusak akibat gempa besar pada tahun 1867, bangunan Kraton Yogyakarta tetap berdiri dengan kokoh dan terawat dengan baik.

Mengunjungi Kraton Yogyakarta akan memberikan pengalaman yang berharga sekaligus mengesankan. Kraton yang menjadi pusat dari garis imajiner yang menghubungakn Pantai Parangtritis dan Gunung Merapi ini memiliki 2 loket masuk, yang pertama di Tepas Keprajuritan (depan Alun-alun Utara) dan di Tepas Pariwisata (Regol Keben). Jika masuk dari Tepas Keprajuritan maka wisatawan hanya bisa memasuki Bangsal Pagelaran dan Siti Hinggil serta melihat koleksi beberapa kereta kraton sedangkan jika masuk dari Tepas Pariwisata maka Anda bisa memasuki Kompleks Sri Manganti dan Kedhaton di mana terdapat Bangsal Kencono yang menjadi balairung utama kerajaan. Jarak antara pintu loket pertama dan kedua tidaklah jauh, wisatawan cukup menyusuri Jalan Rotowijayan dengan jalan kaki atau naik becak.

Ada banyak hal yang bisa disaksikan di Kraton Yogyakarta, mulai dari aktivitas abdi dalem yang sedang melakukan tugasnya atau melihat koleksi barang-barang Kraton. Koleksi yang disimpan dalam kotak kaca yang tersebar di berbagai ruangan tersebut mulai dari keramik dan barang pecah belah, senjata, foto, miniatur dan replika, hingga aneka jenis batik beserta deorama proses pembuatannya. Selain itu, wisatawan juga bisa menikmati pertunjukan seni dengan jadwal berbeda-beda setiap harinya. Pertunjukan tersebut mulai dari wayang orang, macapat, wayang golek, wayang kulit, dan tari-tarian. Untuk menikmati pertunjukkan seni wisatawan tidak perlu mengeluarkan biaya tambahan. Jika datang pada hari selasa wage, Anda bisa menyaksikan lomba jemparingan atau panahan gaya Mataraman di Kemandhungan Kidul. Jemparingan ini dilaksanakan dalam rangka tinggalan dalem Sri Sultan HB X. Keunikan dari jemparingan ini adalah setiap peserta wajib mengenakan busana tradisional Jawa dan memanah dengan posisi duduk.

Usai menikmati pertunjukan macapat, YogYES pun beranjak mengitari kompleks kraton dan masuk ke Museum Batik yang diresmikan oleh Sri Sultan HB X pada tahun 2005. Koleksi museum ini cukup beragam mulai dari aneka kain batik hingga peralatan membatik dari masa HB VIII hingga HB X. Selain itu di museum ini juga disimpan beberapa koleksi hadiah dari sejumlah pengusaha batik di Jogja maupun daerah lain. Saat sedang menikmati koleksi museum, pandangan YogYES tertuju pada salah satu sumur tua yang dibangun oleh Sultan Hamengku Buwono VIII. Di atas sumur yang telah ditutup menggunakan kasa alumunium tersebut terdapat tulisan yang melarang pengunjung memasukkan uang. Penasaran dengan maksud kalimat tersebut pun mendekat dan melihat ke dalam sumur, ternyata di dasar sumur terdapat kepingan uang logam dan uang kertas yang berhamburan.

Puas berjalan mengitari Kraton Yogyakarta, YogYES pun melangkahkan kaki keluar regol dengan hati riang. Dalam perjalanan menuju tempat parkir, terlihat sebuah papan nama yang menawarkan kelas belajar nembang / macapat, menulis dan membaca huruf jawa, menari klasik, serta belajar mendalang. Rupanya di Kompleks Kraton Yogyakarta ada beberapa tempat kursus atau tempat belajar budaya serta kesenian Jawa. YogYES pun berjanji dalam hati, suatu saat akan kembali untuk belajar mengeja dan menulis huruf hanacaraka maupun belajar menari.

Jam Buka: 08.00 - 14.00 WIB
Tiket masuk:
·         Tepas Kaprajuritan: Rp. 3.000
·         Tepas Pariwisata: Rp. 5.000
Ijin kamera/video: Rp. 1.000
Jadwal pertunjukan harian di kraton
·         Senin - Selasa: Musik gamelan (mulai jam 10.00 WIB)
·         Rabu: Wayang golek menak (mulai jam 10.00 WIB)
·         Kamis: Pertunjukan tari (mulai jam 10.00 WIB)
·         Jumat: Macapat (mulai jam 09.00 WIB)
·         Sabtu: Wayang kulit (mulai jam 09.30 WIB)
·         Minggu: Wayang orang & pertunjukan tari (mulai jam 09.30 WIB)

5.    GUA SILUMAN
Gua Siluman atau Gua Seluman? Itulah salah satu misteri di pesanggrahan yang meski namanya masih misterius lebih sering disebut Gua Siluman. Kunjungi dan nikmati situs bersejarah yang memiliki lorong di bawah jalan aspal ini.

Pesanggrahan Gua Siluman Yang Misterius

Tak banyak yang mengenal Pesanggrahan Gua Siluman. Maklum, pesanggrahan yang dibangun oleh Hamengku Buwono II ini memang tidak setenar Istana Air Taman Sari. Tapi, di balik ketidakpopulerannya, pesanggrahan ini sebenarnya pernah berfungsi penting bagi kalangan Kraton Yogyakarta, sebagai tempat bertapa. Bersama Pesanggrahan Warungboto, tempat ini disebut dalam salah satu tembang macapat yang berkisah tentang kemajuan yang diraih selama pemerintahan Hamengku Buwono II di Yogyakarta.

Pesanggrahan Gua Siluman terletak di wilayah Wonocatur, Sleman, tepatnya di jalan yang menghubungkan Ring Road Timur Yogyakarta dengan wilayah Berbah, Bantul. Anda yang ingin berkunjung bisa melewati Jalan Raya Janti sampai perempatan Blok O, kemudian berbelok ke kanan. Setelah menemukan papan penunjuk ke arah Berbah, anda tinggal berbelok ke kiri. Pesanggrahan terletak persis di pinggi jalan, ditandai adanya tembok tinggi setebal 75 cm yang warnanya sudah mulai menghitam.
Areal pesanggrahan mencakup wilayah kanan dan kiri jalan. Mungkin sedikit mengherankan, tapi itu benar. Apakah ada bagian bangunan yang terpotong dengan keberadaan jalan? Ternyata tidak. YogYES memastikannya dengan melihat bagian bangunan di kiri jalan yang merupakan pintu gerbang masuk pesanggrahan ini. Pintu itu bersambungan dengan lorong menuju areal bangunan yang berada di kanan jalan. Artinya, lorong yang menghubungkan kompleks di kanan dan kiri jalan itu berada di persis di bawah jalan raya menuju Berbah itu.

Pada bangunan pintu gerbang itu, kami menjumpai relief burung Beri di bagian atasnya. Bentuknya yang unik masih dapat dilihat jelas meski beberapa bagian sudah mengalami kerusakan karena dimakan usia. Sementara pada bagian bawah pintu, terdapat beberapa anak tangga yang menghubungkan bagian luar dengan lorong. Bila masuk lebih ke dalam, akan dijumpai lagi sebuah pintu yang bagian atasnya berbentuk lengkung, mungkin berfungsi sebagai penanda sudah memasuki lorong.

YogYES sebenarnya ingin menelusuri lorong, namun kami urungkan dan lebih memilih menyeberang jalan. Selanjutnya, kami menuruni bangunan yang berada di kanan jalan dan menemunkan sebuah pintu yang berbentuk persegi. Pintu itu merupakan tembusan dari lorong yang menghubungkan bagian kanan dan kiri jalan. Tak seperti pintu utara yang dihiasi dengan relief burung Beri, pintu selatan ini sederhana, tanpa hiasan apa pun.

Lewat pintu selatan itulah, YogYES bisa mengintip bagian pesanggrahan yang lain. Terdapat bangunan yang memanjang ke timur, bersambungan langsung dengan lorong. Bangunan tersebut terbagi menjadi beberapa ruang yang masing-masing juga dihubungkan dengan sebuah pintu. Tak jauh dari pintu yang menghubungkan ke ruangan paling timur, terdapat sebuah sekat yang dihiasi ornamen-ornamen indah serupa motif kain batik. Sementara, di ruangan paling timur sendiri terdapat kolam segi empat yang hingga kini masih terisi air.

Seperti banyak pesanggrahan pada masa awal Kraton Yogyakarta, Gua Siluman juga memiliki areal taman dan kolam. Saat ini, di areal taman itu ditanam beragam tanaman hias sehingga areal ini tampak hijau. Tanaman hias itu tumbuh di pinggir dua buah kolam segi empat yang juga merupakan bagian dari bangunan pesanggrahan. Bagian pinggir dan dasar kedua kolam itu sebenarnya terbuat dari plesteran yang cukup bagus, namun sayang tak bisa dilihat karena airnya tak begitu bening.

Berkeliling ke sisi barat daya, terdapat satu buah kolam air lagi yang berbentuk lingkaran. Kolam itu dihiasi dengan arca burung Beri dengan paruhnya yang menonjol. Bentuknya sangat unik, terutama karena paruhnya sekaligus berfungsi sebagai pancuran air. Kolam serupa sebenarnya juga terdapat di sebelah tenggara, namun arcanya sudah mengalami kerusakan dan kolamnya mulai terpendam tanah.

Hingga saat ini, beragam aktivitas kalangan Kraton selain semedi yang dilakukan di Pesanggrahan Gua Siluman belum bisa terjawab, termasuk siapa saja yang pernah bersemedi di tempat ini. Hal lain yang masih jadi misteri adalah nama bangunannya sendiri. Tembang macapat yang memuat pendirian bangunan ini mengatakan nama bangunan adalah Gua Seluman, namun papan nama yang ada di kompleks bangunan sekarang menyebut nama bangunannya Gua Siluman. Apakah Seluman dan Siluman berarti sama?

Dahulu, banyak orang menganggap bangunan ini angker sehingga tak sembarangan orang bisa memasukinya. Namun kini anggapan itu sudah tak ada sebab beberapa orang bahkan menggunakan areal pesanggrahan untuk tempat ngobrol. Jadi, anda bisa mengunjungi salah satu situs bersejarah ini tanpa merasa takut.

6.    WARUNGBOTO
Sebuah taman air kuno yang indah dan dirancang sangat privat bisa ditemukan di wilayah Warungboto. Taman air itu berada di antara Pesanggarahan Warungboto yang kini tinggal puing.

Pesanggrahan Warungboto dan Pesona Taman Air Abad 19

Bila melewati Jalan Veteran (jalan yang mengarah ke kanan dari perempatan sebelum Kebun Binatang Gembira Loka) dan menjumpai sisa-sisa bangunan seperti rumah, anda mungkin akan melewatkannya saja dan menyangka bahwa bangunan itu merupakan bangunan biasa saja. Tapi, mulai sekarang, anda mesti tahu bahwa bangunan itu cukup bersejarah sebab merupakan salah satu pesanggrahan yang dibangun oleh Hamengku Buwono II.

Bukti bahwa bangunan tersebut bersejarah adalah termuatnya nama bangunan dalam sebuah tembang macapat yang berkisah tentang Hamengku Buwono II. Dalam tembang tersebut, bangunan ini tidak disebut dengan nama Pesanggrahan Warungboto sebagaimana banyak orang menyebutnya sekarang, tetapi dengan nama Pesanggrahan Rejowinangun. Secara keseluruhan, tembang macapat itu sendiri bercerita tentang kemajuan yang dicapai semasa Hamengku Buwono II.
Mengunjungi pesanggrahan ini bagi beberapa orang mungkin dianggap membosankan, sebab tak ada lagi kemegahan yang bisa dinikmati. Namun, bukankah wisata tak harus mengunjungi tempat-tempat megah? Tempat-tempat sederhana, bahkan yang tinggal puing pun, pasti memiliki daya tarik. YogYES yang mengunjungi tempat ini beberapa hari lalu masih bisa menemukan keindahan di beberapa sudut meski banyak bagian bangunan yang telah mengalami kerusakan.

Kami mulai menjelajahi bangunan mulai dari bagian terdepan atau yang berbatasan langsung dengan jalan raya. Bagian terdepan ini berbentuk bujur sangkar dengan lantai yang terbuat dari bahan semacam semen. Karena terletak di depan, mungkin bagian ini berfungsi sebagai bangsal atau lobby seperti pada banyak bangunan yang ada sekarang. Dari bagian terdepan, bisa dilihat pemandangan seluruh kompleks pesanggrahan.

Di sebelah kiri bagian terdepan terdapat tangga turun yang cukup sempit. Kami langsung bisa menduga bahwa bangunan pesanggrahan ini mulanya terdiri dari dua lantai, seperti bangunan pesanggrahan lainnya yang terdiri dari lantai dasar dan bawah tanah. Untuk menuruninya perlu hati-hati, sebab bagian kanan kirinya tidak memiliki pegangan dan banyak bagian yang telah ditumbuhi lumut sehingga licin.

Di lantai bawah tanah inilah, banyak bagian bangunan yang mempesona bisa dilihat. Bagian yang paling indah adalah areal taman yang dilengkapi dengan dua buah kolam. Kolam pertama berbentuk lingkaran berdiameter 4,5 meter dan bagian tengahnya memiliki sumber pancuran air atau umbul. Sementara, kolam kedua berbentuk bujur sangkar dengan ukuran sisi 10 meter x 4 meter. Kedua kolam itu saling berhubungan, ditandai dengan adanya lubang saluran air yang bisa dilihat jelas dari kolam kedua.

Kami sungguh merasa kagum dengan arsitektur bangunan pesanggrahan ketika berada di areal taman ini. Bagaimana tidak, pesanggrahan yang dibangun tahun 1800-an ini sudah merancang adanya taman beserta kolam yang sifatnya pribadi, dikelilingi oleh bangunan sekitarnya sehingga tak terlihat dari luar. Selain itu, tembok-tembok yang mengelilinginya juga tampak tinggi dan tebal, menandakan kekokohan bangunannya di masa lalu.

Di sebelah utara dan selatan kolam terdapat pintu bertinggi sedang yang cukup lebar. Pintu itu menghubungkan dengan bagian lain ruangan bawah tanah. Di bagian timur kolam akan dijumpai jendela-jendela berjumlah tiga buah, satu berbentuk kotak dan dua lainnya berbentuk lengkung pada bagian atasnya.. Sementara di bagian barat kolam terdapat satu pintu yang bagian atasnya melengkung, menghgubungkan dengan dua pintu lengkung berikutnya yang dilengkapi dengan beberapa anak tangga. Dua pintu terakhir menghubungkan areal taman yang berada di bawah tanah dengan lantai dasar.

Kalau kembali ke lantai dasar dan menjelajahi sisi selatan bangunan, akan dijumpai beberapa puing tembok. Kemungkinan, tembok itu merupakan pembatas antar ruang pesanggrahan. Terdapat bagian tembok yang unik, sebab permukaannya tidak halus, mungkin dulu memiliki ornamen. Satu tembok yang masih sangat kokoh berada di bagian paling depan sisi selatan. Pada tembok itu, terdapat beberapa jendela berbentuk persegi.

Sebenarnya, saat didata oleh Dinas Purbakala pada tahun 1980, masih ada beberapa hiasan yang bisa dijumpai. Diantaranya berupa patung burung garuda yang ada di sisi selatan, patung naga yang ada di sisi timur dan pot bunga yang merupakan salah satu komponen dari kolam. Sayang, YogYES tidak menjumpainya saat berkunjung walau sudah menjelajah ke setiap sudut. Mungkin anda bisa mencarinya jika mengunjungi tempat ini. Siapa tahu hanya kami yang melewatkannya?

Jika ingin berkunjung, anda bisa melewati beberapa alternatif jalan. Paling mudah bila anda mengunjungi sebelum atau sesudah berwisata ke kawasan Kotagede. Jika berkunjung sebelum ke Kotagede, anda bisa melewati Jalan Kusumanegara hingga sampai di perempatan pabrik susu SGM, kemudian berbelok ke kanan. Sementara, jika berkunjung setelah ke Kotagede, anda tinggal melewati Jalan Ngeksigondo ke arah barat hingga perempatan pos pengisian bahan bakar Gambiran dan berbelok ke kanan.

Pesanggrahan ini cukup mudah dijangkau dan bisa dikunjungi tanpa mengeluarkan biaya sepeser pun. Satu yang pasti, wisata anda ke Yogyakarta akan semakin lengkap sebab bisa mengunjungi Pesanggrahan Warungboto yang konon dipakai oleh kalangan Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat untuk bersemedi dan menjalani laku prihatin.

BAB III
KESIMPULAN

Jadi Yogyakarta merupakan tempat wisata yang pantas untuk di kunjungi oleh siapapun baik dari wisatawan lokal maupun wisatawan mancanegara. Yogyakarta memberikan berbagai banyak tempat objek wisata yang menarik dan indah dimulai dari pantainya yang indah, candi-candi yang menarik, outbound yang begitu banyak, tempat kuliner yang begitu menantang untuk di cobain. Yogyakarta memberikan keindahan yang begitu indah diantara tempat wisata yang ada di Indonesia ini. Karena, Yogyakarta itu adalah Surga Wisatawan di Jawa.

BAB IV
DAFTAR PUSTAKA

http://www.yogyes.com/id/yogyakarta-tourism-object/historic-and-heritage-sight/kotagede/
http://www.yogyes.com/id/yogyakarta-tourism-object/historic-and-heritage-sight/tamansari/
http://www.yogyes.com/id/yogyakarta-tourism-object/historic-and-heritage-sight/panggung-krapyak/
http://www.yogyes.com/id/yogyakarta-tourism-object/historic-and-heritage-sight/kraton/
http://www.yogyes.com/id/yogyakarta-tourism-object/historic-and-heritage-sight/gua-siluman/
http://www.yogyes.com/id/yogyakarta-tourism-object/historic-and-heritage-sight/warungboto/
http://www.yogyes.com/id/yogyakarta-tourism-object/historic-and-heritage-sight/




3 comments:

  1. INFORMASINYA yang di berikan sangat BAGUS dan BERGUNA bagi WISATAWAN yang berkunjung ke kota JOGJA TERCINTA ini.

    Semoga SUKSES selalu dan semakin MAJU.

    087 860 534 593 (XL)

    0274 743 4961 (Flexi)

    http://homestayyogyakarta.com/

    ReplyDelete

Don't forget to give your's comennt :)
Thanks for a lot

Copyright © KANG MAS DYAN'S BLOG Urang-kurai